Minggu kesekian,
tanpanya.
Aku mulai
membiasakan diri tanpa batas. Tanpa sebuah kerindukan yang dapat diucapkan. Aku
harus terbiasa dengan sebuah sesak. Sebuah kerindukan yang tak diizinkan untuk
terucap. Tak boleh memikirkannya, karena tak akan bisa menemuinya. Tak boleh
menginginkannya, karena tak akan bisa memilikinya. Mungkin nanti, tidak
sekarang. Dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.
Hanya perlu
mengingat ingat bagaimana hidupku dahulu, tanpa dia. Kemudian lakukan hal yang
sama. Kembali menjalani hidup tanpa ada namanya. Tanpa ada kerinduan. Tanpa ada
rasa sesak, apalagi rasa ingin memilikinya.
Kala ingat,
sujud hanya bisa jadi pelipur lara. Membisikkan namanya pada bumi, agar
tersampaikan kepada langit. Kala langit meridhoi, ia kan sampaikan salam ini
pada dia sang empunya nama.
Ah, indah
sekali. Andai setiap bisikanku tersampaikan olehnya. Manakala ia juga
merindukan hal yang sama, maka terasa mudah bagiku. Maka terasa tanpa gundah
hidupku. Maka terasa ringan bebanku. Maka terasa cepat penantianku.
Manakala...
Hanya, manakala...