Sabtu, 26 Juli 2014

[Cerpen] It is 2 A.M

Haii :)
apakah kalian sudah membaca ulasan tentang Dazzling Ruby? Belum? Hah? jadi kalian nggak kepo sama cewe cewe cantik yang jado coverdance ini? serius? chek dulu gih di http://sparklekyusa.blogspot.com/2014/07/dazzling-ruby.html *promo teroos*
and now, saya author gaje yang suka nya nge post cerita tapi nggak pernah kelar ini,akhirnya berhasil nge post suatu tulisan pengalaman pribadi *naudzubillah* yang berhasil di-fiktif fiktif kan nih... *halah* *haha*

happy reading sista~ :* #digampar

***
...
...




Memang benar. Tidak ada seorang pun yang mau menerima panggilan telepon pada saat jam dua malam. Pada saat kau berumur 12 tahun kau mungkin akan mengiranya sebagai telepon iseng. Pada saat kau berumur 15 tahun mungkin kau berfikir itu adalah pacarmu. Tapi saat kau berumur 17 tahun, bisa jadi itu sebuah berita buruk. begitulah caraku memulai kisah cinta yang tidak berguna ini. Sebuah berita buruk yang seharusnya kutolak sejak awal, akan tetapi saat itu pun aku menolaknya. Menolak untuk berkata tidak.


aku belum benar benar bangun dari bunga tidurku. Saat itu aku meraba kasur untuk mendapati ponselku. Melucuti penutup mata dan mencoba untuk sadar sementara waktu. Dering teleponku masih terus berbunyi sampai akhirnya suara diseberang sana menyadarkanku. 


“sudah tidur?”


Aku tidak menjawab. masih berusaha mengumpulkan kesadaranku.


“halo..apa kamu disana?”


Aku berdehem pelan.”ada apa?”


Sangat dingin malam itu. aku yang selalu dengan sengaja tidak menutup jendela kamar akhirnya menutupnya. Suasana pun menghening. Setelah kutanya ada apa dia tak menjawab. Aku meng-halo nya sekali lagi. Dia juga tidak menjawab.


“aku akan menutupnya..”sebenarnya aku tidak benar benar ingin menutupnya,mengingat yang menelepon ku adalah seorang bocah laki laki yang menjadi incaran semua perempuan di sekolah. Termaksud aku. Mungkin.


“jangan…” akhirnya dia bersuara.”aku ingin mengatakan sesuatu. Mau mendengarnya?”


Aku mengiyakannya.


“dengan satu syarat,jangan putus kalimatku sampai aku selesai bicara..”


Lagi lagi. Aku mengiyakannya.


“aku menyukaimu. Aku memintamu jadi pacarku. Aku..”


“ha?” mendengar kalimat pertamanyapun membuatku mati kutu. Tidak bisa menahan suara 
akibat ekspresi terkejutku.


“aku bilang jangan memutusnya. Kemudian, kita akan berpacaran dalam waktu yang tidak ditentukan. Lama. Harus dalam waktu yang sangat lama. Kita akan berjanji untuk saling menyayangi dan menjaga”


Aku masih membeku mendengar kalimatnya. Aku bahkan mempercayai ini sebagai bagian dari mimpiku. Aku tidak menjawabnya. Barang kali aku benar benar hanya bermimpi, jadi aku 
tidak terlalu terjatuh dengan rasa sakit dan kecewa.


“apa kau setuju?” suaranya kembali membuatku terdiam. Mati kutu.

Kini dia mendehem pelan dan memastikan aku masih mendengar suaranya. Aku benar benar bingung harus mengatakan apa setelah ini.


“oke. Kau tidak mengatakan apapun.aku anggap kau setuju. Selamat malam. Lanjutkan tidurmu”


Kemudian sambungan telepon itu terputus…


Aku gila. Aku benar benar gila.


***

Pagi itu aku terlambat masuk sekolah.seperti biasanya, masuk kelas saat pelajaran kedua dan harus megikuti sidang di kantor kesiswaan. Mengisi buku kelakuan nakalku dan mendapat poin tambahan lima puluh. Aku sudah memperkirakannya, kalau aku terlambat dua kali lagi, jelas aku akan dikeluarkan dari sekolah.


Dengan bermalas malasan aku menyeret tas ranselku ditanah. Benar benar tidak memiliki mood untuk mengangkat dan meletakkannya dipunggung sekalipun. Sampai tiba tiba dari arah depan seseorang menghamiriku. aku tidak yakin dia siapa karena bodohnya aku lagi aku meninggalkan kacamataku dirumah. Orang itu berjalan mendekatiku dan mengambil tasku. Aku hanya ingin berteriak saat itu. karena saat dia berada kurang lebih dua meter dariku,aku menyadari bahwa dia adalah, Dimas. Bocah kurang kerjaan yang hadir dalam mimpiku semalam dengan penuh kejutan. Entah mimpi atau bukan. Aku tidak benar benar yakin.


“seharusnya aku menelponmu tadi pagi,” suaranya terdengar lebih berat daripada di telepon.


“ah, kenapa harus menelepon?” jawabku asal.


Dia tidak meresponnya. Tapi, tunggu dulu. Kenapa dia masih disini dan membawakan tasku? Apakah tentang yang tadi malam itu bukan mimpi? Aku benar benar tidak bisa mengontrol pikiran dan hatiku yang sedang berantakan saat ini. Berantakan seperti kamar orang malam pertama. *krik..krik..kriuk..* *skip*


“nanti pulang sekolah aku tunggu didepan gerbang, aku anter kamu pulang ya?”


Dan akupun tidak sanggup menjawab pertanyaan yang sudah terjawab itu. aku hanya memberikannya senyuman super manisku saat sudah sampai didepan kelas. Lalu dia meninggalkanku begitu saja seperti tidak terjadi apa apa.


Tunggu dulu.dia sekelas denganku, dan dia bersikap seperti itu?apa apaan ini?


Aku berjalan menuju mejaku. Setelah meminta maaf kepada guru yang sudah masuk atas keterlambatanku. Begitu juga denga Dimas. Aku duduk dibarisan pertama disaat dia duduk dibarisan terakhir. Sangat ingin duduk didekatnya jika keadaannya seperti ini.aku tidak ingat siapa posisiku sekarang, akan tetapi hanya saja hati ini sedang seperti taman dengan bunga bunga yang bermekaran.


***

Kami, aku dan Dimas bersepakat untuk tidak membongkar soal hubungan kami didepan teman teman sekolah. Walaupun pasti sudah ada beberapa mulut yang mulai menyebar gossip. Tapi kami tetap berusaha menjaga hati para penggemar Dimas disekolah. Sebenarnya dia bukan flower boy seperti yang ada di drama korea. Akan tetapi, permainan basket, badannya yang bidang dan motor cowoknya yang sudah pasti memikat gadis cabe disekolah. Tunggu. Apakah aku baru saja membicarakan diriku sendiri?aku kan juga terpikat. Huft.


Tiga hari hubungan kami baik baik saja. Seperti pacaran anak SMA pada umumnya. Hanya saja,malam itu Dimas mengajakku untuk bertemu dan mengenalkanku pada teman teman clubnya. Semacam club pecinta otomotif dan balapan. Mataku benar benar berat alias mengantuk. Tapi apa boleh buat, setidaknya aku harus mau meluangkan waktuku untuk membuat Dimas senang. Walaupun itu pukul satu malam.


Aku tidak berencana turun dari motor saat sampai disana. Tapi itu tidak mungkin. Aku akan babak belur jika berusaha duduk diatas motor besar tanpa Dimas berada didepanku. Teknisnya, dia tidak mengijinkanku untuk tidak turun. Menyebalkan sekaligus menakutkan. Tak asing aku mencium bau rokok dan minuman keras disana. Aku juga melihat Dimas menyalakan gulungannya pertamanya malam itu yang baru saja ia rampas dari temannya. Aku hanya diam. Tidak berusaha berkomentar. Aku hanya berusaha menjadi pacar yang baik dan tidak over protektif. Kalo dia seorang perokok, mau bagaimana lagi? Dia sudah merokok sejak sebelum berpacaran denganku, dan aku tidak punya hak untuk mengubahnya kecuali dia mau.


Aku hanya tersenyum tipis didepan teman temannya yang tidak berhenti mengepulkan asap. Jangan lupakan beberapa wanita dengan rok mini atau hotpants disana,yang tidak habis habisnya memandangiku dengan tatapan membunuh. Dan beruntung masih da salah satu diantara mereka yang masih mau berkenalan denganku dengan kalimat perkenalan yang sangat manis dan tidak bisa kulupakan.


“hai, aku Debi. Jadi sekarang Dimas sudah menemukan pelacurnya yang baru? Gadis manis yang malang”


Ucapnya tanpa memikirkan perasaanku. Dia masih dengan tega menjabat tanganku diiringi tawa semua teman temannya. Dimas merangkulku. Membuatku sedikit lebih tenang saat itu, tapi juga terlecehkan”


Dimas berbisik ditelingaku.  Dia mencoba membuatku tenang dan menurunkan kadar emosiku saat itu.


***

Perjumpaan pertamaku dengan teman temannya memang tidak meninggalkan kesan yang baik. Akan tetapi,entah kenapa Dimas tidak henti hentinya mengajakku untuk ikut bergabung dengan mereka.


Malam itu Dimas tidak membawa motornya. Dia mengendarai Terios hitam. Aku memutuskan untuk tingagal didalam mobil dan berencana untuk tidur disaat Dimas bergabung dengan pestanya. Walaupun sebenarnya aku tetap berharap, dia akan tetap memaksaku untuk turun dengan alasan tidak tega kalau harus meninggalkanku sendirian. Tapi sayangnya, dia bukan laki laki seromantis itu. dia benar benar meninggalkanku didalam mobil. Kalau saja aku bisa mengendarainya, aku sudah beride gila untuk membawanya kabur dan pulang kerumah. Sayangnya itu hanya ide gila yang tidak didukung dengan kemampuanku.


Dari dalam mobil, walaupun cukup samar karena aku tidak menggunakan kacamata maupun softlens aku masih tetap bisa membedakan Dimas dengan teman temannya. Kaos warna merah membuatnya sedikit lebih mencolok disbanding teman temannya yang larut dalam balutan jaket kulit atau kaus berwarna gelap. Aku mengamatinya. Hanya bisa mengamatiya tanpa mengetahui apapun.


***

Kemarin malam, saat perjalanan pulang aku pura pura tertidur. Aku merasa Dimas berusaha membangunkanku, tetapi aku tetap tidak menggubrisnya. Sebenarnya itu hanyalah caraku agar kabur dari pembicaraan. Aku mencoba untuk menahannya sendiri dan tidak menuntut apapun.


Sekarang, aku menenggelamkan tubuhku dibawah selimut. Aku sedang tidak badan. otakku pun ikut tenggelam dalam banyak pikiran. Sempat terfikir tentang---menyudahi saja hubunganku dengan Dimas. Toh tampaknya dia tidak benar benar serius denganku. Toh dia mempunyai dunia yang mungkin lebih menyenangkan ketimbang bersamaku. Dan seharusnya aku cukup bahagia dengan duniaku sendiri juga.


Terlalu banyak berfikir, aku hampir saja melupakan kelas dance. Aku tergabung dalam sebuah grup dance sejak beberapa tahun yang lalu. Disana adalah hidupku. Karena dance, sudah lama melekat dan menjadi salah satu cara aku bertahan hidup. Dimas meneleponku menawarkan jemputan. Aku mengiyakannya. Sampai ditempat, ia menungguku kurang lebih empat jam. Sedikit tidak tega sebenarnya. Dan benar saja, ia menuntut balas budi atas hal itu.


“billiard dulu ya?” Tanya Dimas langsung saat aku baru saja keluar dari ruang latihan.


Aku hanya mengiyakannya. Entah kenapa aku selalu menuruti permintaannya.

Sesampainya disebuah club billiard aku bermalas malasan turun dari mobil. Dan nampaknya Dimas menyadarinya. Ia mengambil tanganku dan menggandengnya. Aku membiarkannya.


“kamu capek?” Tanya Dimas tanpa melihatku. Aku hanya meliriknya sinis.


“kalo kamu capek seharusnya kamu bilang dari tadi..”


Aku berdehem pelan. Dasar bodoh, seharusnya dia mengerti kalau aku sangat kelelahan. Bukannya dari tadi dia yang menungguiku latihan dance selama berjam jam. Laki laki gila. 
“yaudah enggak apa apa. sudah sampai sini,main saja”


Sontak kalimatku membuat Dimas bertambah semangat. Aku sudah mempersiapkan hati dan mentalku setelah ini. Akan ada gadis gadis dengan rok mini yang akan mengelilingi Dimas dan teman temannya. Juga akan ada asap rokok, beer dan suara music yang memekakan telinga. Aku menghela napas panjang. Aku memilih-bukan, lebih tepatnya aku membiarkan diriku sendiri menjadi kepunyaan Dimas malam beberapa hari yang lalu, dan aku harus menerima konsekuensinya. Disamping mengorbankan hati yang terus terusan disakiti, juga harus menerima dengan lapang dada akan label yang diberikan orang orang setelah ini. Cewek murahan. Aku sudah pernah mendengarnya dari mulut salah seorang teman yang mungkin kini dia membenciku karena ini.


Kini aku berada disudut ruangan. Memandangi Dimas yang sedang tenggelam didalam dunianya. Bersama lintingan rokok dan gadis gadis itu. saling memaki kemudian tertawa bersama teman temannya. Dia tampak lebih bahagia seperti itu.ketimbang jalan bersamaku, dia selalu lebih diam. Dingin. Kaku. Menyebalkan. Dan hal itu selalu berhasil membuatku kembali berfikir,apakah dia benar benar menginginkan aku?


Tidak banyak yang aku lalui bersama Dimas setelah beberapa minggu ini. Memang kita hampir selalu bertemu setiap harinya, tapi yang aku lakukan selalu sama. Menunggu. Menunggu. Menunggu dan merasa kesepian. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada di otak Dimas saat dia jalan denganku.apakah dia benar benar menganggapku ada sebagai pacarnya? Atau dia hanya mempermainkanku? Barangkali dia hanya menganggapku sebagai pacar “ada-adaan”. Entahlah aku sendiri tidak tahu apa maksudnya. Tapi cukup bagiku. Aku memang menyukai Dimas. Sikapnya yang keras, bahasanya yang tak jarang kasar, perilakunya yang buruk. dia begitu sempurna dimataku. Aku tidak pernah berusaha mulai menjauh darinya. Terfikirkan untuk putus pun tidak pernah. Entah setan apa yang merasuki ku sehingga aku seperti ini. Sebodoh ini.


 Setelah mengenal sedikit lebih jauh tentang Dimas. Sempat berfikir dengan tabiatnya yang seperti itu,apakah ia akan meminta sesuatu yang lebih padaku? Dia memang banyak memberikan materi padaku. Disaat aku hanya bisa memberikan kesabaran dan ketabahan hati menerimanya.apakah suatu hari nanti dia akan meminta sesuatu yang “lebih” dariku? Apakah dia akan menuntut bukti cintaku padanya? 


Dan, malam itu pun datang. Aku dan Dimas baru saja menyaksikan sebuah acara balapan mobil liar pada pukul 2 pagi tadi. Di tengah kota. Aku suka menikmati udara malam atau menjelang pagi seperti ini. Aku melirik jam diponselku. Pukul setengah empat pagi. Sudah terlalu pagi untuk tidur,mengingat pukul tujuh nanti aku sudah harus berada di sekolah. Aku hanya terkantuk disamping Dimas yang masih terfokus pada jalanan.


“kamu ngantuk?” Tanya Dimas tiba tiba meyadarkanku.


Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku hanya berdehem pelan.


“bolos aja yuk?”


Ajakannya itu justru membuatku tersadar. Aku meliriknya sebentar kemudian berfikir. Sebenarnya itu bukan ide yang terlalu buruk. “mau kemana emang?”


“tidur” jawabnya singkat.


Kemudian aku tersadar kalau mobil yang dikemudikan Dimas sedang tidak berada dijalur yang benar untuk mengantarku pulang.


“sepertinya kamu salah ambil jalan,kita harus memutar kalau lewat sini”


Dimas hanya tersenyum.


Aku mulai bingung dan timbul rasa khawatir. “mau kemana?”


Dimas melirikku. “tidur”


“kamu jangan gila ya..” jantungku mulai berdetak tak beraturan.aku takut. Sangat ketakutan. Aku memang mencintai Dimas,tapi bukan seperti ini.aku seperti tahu apa yang dia maksud sekarang.aku hanya tidak berani memberontak saat ini.


Dimas memarkirkan mobilnya sembarangan didepan sebuah rumah.aku tidak mengenal itu rumah siapa. Dimas hanya memintaku turun dan segera masuk kedalam. Aku menurutinya. Aku mengekornya dari belakang. Dia masuk kedalam sebuah kamar yang cukup luas dan bersih. Kasurnya dibalut seprei berwarna hitam dan bedcover berwarna abu abu. Dindingnya berwarna putih dengan beberapa wallpaper dengan corak daun berwarna hitam. Sangat mistis kesan yang ditimbulkan didalam kamar ini.


Aku meletakkan tasku sembarangan diatas sebuah meja rias. Kemudian memandangi pantulan diriku dicerminnya yang cukup besar.aku melepas cardigan yang membalut tubuhku sejak tadi. Dari pantulan cermin aku melihat Dimas mendekatiku. membantuku melepas cardiganku dan memelukku tiba tiba dari belakang. Kepalanya ditenggelamkan diatas pundakku. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku sedang mencoba mencerna apa yang akan terjadi.aku pikir aku terlalu polos saat itu. dan baru sadar setelah aku merasa ada aliran panas yang menjalari tubuhku dari punggung hingga kaki. aku berusaha menyingkir dari Dimas tapi tenagaku tidak cukup kuat. Dia mendorong tubuhku keatas kasur. Dengan wajah bengisnya dia seakan mencoba melompat kearahku dan ingin segera memakanku. Dengan posisi seperti itu aku tidak bisa berbuat apa apa. dia menciumku dengan panas. Kemudian aku mencoba berteriak dan berusaha kabur dari situ sesegera mungkin.


***

Aku terkejut dengan dering ponselku sendiri. aku belum benar benar bangun dari bunga tidurku. Saat itu aku meraba kasur untuk mendapati ponselku. Melucuti penutup mata dan mencoba untuk sadar sementara waktu. Dering teleponku masih terus berbunyi sampai akhirnya suara diseberang sana menyadarkanku.


“sudah tidur?”


Aku tidak menjawab. masih berusaha mengumpulkan kesadaranku.


“halo..apa kamu disana?”


Aku berdehem pelan.”ada apa?”


Sangat dingin malam itu. aku yang selalu dengan sengaja tidak menutup jendela kamar akhirnya menutupnya. Saat itu juga aku menyadari sesuatu,orang  gila mana yang menelponku pukul dua malam. Suasana pun menghening. Setelah kutanya ada apa dia tak menjawab. Aku meng-halo nya sekali lagi. Dia juga tidak menjawab. Kemudian aku mulai mengumpulkan kesadaranku lagi dan mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi. Aku baru saja tertidur sejak jam 5 sore tadi setelah kelelahan latihan. Aku mengecek kembali layar ponselku. Dimas. Ada apa dia menelponku jam segini?


“aku akan menutupnya..”sebenarnya aku tidak benar benar ingin menutupnya,mengingat yang menelepon ku adalah seorang bocah laki laki yang menjadi incaran semua perempuan di sekolah. Termaksud aku. Mungkin.


“jangan…” akhirnya dia bersuara.”aku ingin mengatakan sesuatu. Mau mendengarnya?”


Aku mengiyakannya.


“dengan satu syarat,jangan putus kalimatku sampai aku selesai bicara..”

Aku tidak asing dengan kalimat itu. aku pernah mendengarnya disuatu waktu tapi aku tidak benar benar yakin. Tapi entah apa yang membuatku tiba tiba tersadar dan ingin segera mengakhiri pembicaraan itu.


“maaf Dimas, aku tidak bisa menerimamu. Aku tidak cukup kuat untuk menahan rasa sakit yang akan kamu berikan padaku secara bertubi tubi.aku memang menyukai sisi misteriusmu tapi aku sudah tahu sisi lainmu, sisi yang bahagiamu namun juga menjadi sisi terburukmu. Aku sudah cukup lelah dengan apa yang baru saja aku alami.aku tidak mau mengalaminya dua kali. Selamat malam”


Aku menutup telponnya. Ada rasa bersalah terbesit dalam pikiranku. 

Tapi setelah itu aku juga merasa lega karena bisa kabur dari kenyataan yang mungkin akan menyakitiku. Aku turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Mengambil segelas air putih dan kembali kekamar.


Syukurlah. Walaupun aku tidak benar benar yakin tentang apa yang sebenarnya akan terjadi setidaknya aku mempercayai sebuah pertanda.


 ...
-selesai-

yahh..akhirnya setelah sekian lamamenganggurkan blog ini dengan update-an yang super gaje,saat ini anda baru saja membaca tulisan *yang gakkalah gaje* yang ide ceritanya muncul begitu saja dikala author lavar karena puasa~ *hiks* *elapingus*
makasih sudah membaca..RCL ne :*