Jumat, 05 Mei 2017

[myshittydiary] Manakala



 
Minggu kesekian, tanpanya.

Aku mulai membiasakan diri tanpa batas. Tanpa sebuah kerindukan yang dapat diucapkan. Aku harus terbiasa dengan sebuah sesak. Sebuah kerindukan yang tak diizinkan untuk terucap. Tak boleh memikirkannya, karena tak akan bisa menemuinya. Tak boleh menginginkannya, karena tak akan bisa memilikinya. Mungkin nanti, tidak sekarang. Dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.

Hanya perlu mengingat ingat bagaimana hidupku dahulu, tanpa dia. Kemudian lakukan hal yang sama. Kembali menjalani hidup tanpa ada namanya. Tanpa ada kerinduan. Tanpa ada rasa sesak, apalagi rasa ingin memilikinya.

Kala ingat, sujud hanya bisa jadi pelipur lara. Membisikkan namanya pada bumi, agar tersampaikan kepada langit. Kala langit meridhoi, ia kan sampaikan salam ini pada dia sang empunya nama. 

Ah, indah sekali. Andai setiap bisikanku tersampaikan olehnya. Manakala ia juga merindukan hal yang sama, maka terasa mudah bagiku. Maka terasa tanpa gundah hidupku. Maka terasa ringan bebanku. Maka terasa cepat penantianku.

Manakala...

Hanya, manakala...

Selasa, 25 Oktober 2016

[myshittydiary] Ada, tapi Tak Ada.

Malam itu, aku terpaku pada segelas coklat panas dimeja makan. Memperhatikan uapnya yang naik kemudian menghilang berbaur dengan udara. Aku berkedip setiap 5 detik sekali, sesekali menghembuskan nafas panjang dan tidak mengalihkan pandangan.
Malam itu, aku merasa jauh dari hidup yang pernah aku alami. Tiba tiba saja aku teringat suatu memori, tentang liburan musim panas di pantai selatan pertengahan tahun lalu.
.
.
Mama sibuk didapur membungkus beberapa lauk dan nasi kedalam travelbag. Ayah didepan sedang asik mencuci mobilnya dan mengechek mesin. Adik dikamar merapikan peralatan laptop dan psp kedalam tas. Aku pun membongkar isi lemari untuk memilih pakaian musim panas mana yang akan kugunakan untuk ke pantai besok. Tidak kurang dari 3 jam semua siap, kami berdoa saat memulai perjalanan dengan cara kami masing masing. Aku dan adik langsung tertidur diperjalanan. Sekitar 6 jam perjalanan yang cukup melelahkan itu terbayarkan saat kami bongkar barang bawaan dibibir pantai. Merapikan beberapa tas di sebuah cottage yang jaraknya hanya sekitar 20 meter dari ujung ombak. Aku langsung berlari bersamaan dengan adik untuk mengubur kaki dan membuat sebuah istana pasir. Hal kekanakan yang selalu kami lakukan saat tiba di pantai. Terlebih pantai selatan yang selalu kami rindukan ini. Tak lama disusul oleh mama dan ayah yang menjinjing travelbag berisi kotak makanan yang sudah mama siapkan. Makan sore saat itu sangatlah istimewa karena walaupun sayur dan lauk sudah mendingin tapi terasa hangat oleh senja yang mengabu.
.
.
"Kak, coklatnya udah dingin."
Aku kembali disadarkan dari lamunan coklat panas dimeja makan saat itu. Kupegang badan cangkir nya, benar, sudah tidak panas lagi. Aku melirik adikku yang juga sedang membuat coklat panas dimeja yang sama. Aku memperhatikannya dengan seksama paras wajahnya yang sangat mirip dengan ayah. Kemudian aku kembali teringat pada liburan awal tahun lalu.
.
.
Aku dan adikku sedang mengantri tiket kereta gantung disebuah taman rekreasi di jakarta. Kemudian aku mendengar ayah berseru dari luar barisan,
"kakak sama adik lihat sini dong, serius banget ngantrinya."
Aku dan adik dengan reflek menengok kesumber suara dan -ceklek sebuah momen wajah lelah mengantri dan terkejut berhasil terekam disebuah kamera digital milik ayah. Adik langsung tertawa dan aku hanya meringis melihat tingkah ayah yang selalu berhasil membuat kita terhibur. Tidak peduli bagaimana reaksi pengunjung lain saat ayah justru sibuk mengambil gambar kami saat berada diantrian. Yang aku ingat, aku terus tertawa saat itu. Apalagi saat melihat ayah dan mama justru dengan narsisnya mengambil gambar wefie kami berempat tanpa peduli dengan pengunjung lain dibarisan yang ikut terekam didalamnya. Lagi lagi aku tertawa tanpa malu.
.
.
Pyar. Aku kembali terkejut dari lamunan. Gelas coklat adik pecah karena air termos yang dituang terlalu panas. aku ikut membantunya memungut beling dan mengambil kain pel. Sebelum mama datang, semua harus kembali beres atau salah satu dari kami harus rela mendengar omelan mama yang tak ada hentinya.
Setelah membersihkan kekacauan kecil yang dibuat adik, aku kembali ke meja makan dan duduk ditempat yang sama. Memandang sebuat figura foto yang dipajang tak jauh dari sana. Foto saat kami di candi borobudur.
.
.
Dengan nafas tersengal aku menggandeng mama menaiki ratusan anak tangga dicandi itu. Sejak turun dari parkiran sudah terpikirkan betapa melelahkannya agar sampai ke candi yang paling atas. Benar saja, bahkan ayah beberapa kali mengumpat tentang kebiasaan merokoknya yang membuat nafasnya jadi lebih pendek. Begitu juga mama yang memiliki badan lebih besar, lebih sulit untuk melakukan aktifitas menaiki ratusan anak tangga ini. Bukan perkara sulit bagiku dan adik mengingat kami masih muda dan sama sama tipe orang yang suka olah raga. Bukan berarti nafas kami kuat, tapi kami juga kepanasan karena saat itu tepat pukul 1 siang. Semua keringat terbayarkan ketika sampai dipuncak. Kami merayakannya dengan meminta tolong salah seorang pengunjung untuk mengambil gambar kami dengan kamera digital ayah. Setelah melihat hasilnya, kami sangat puas. Ayah langsung memutuskan untuk mencetaknya dan berencana untuk beli figura agar bisa digantung dirumah. 
.
Ponselku berbunyi. Dan berhasil menyadarkanku bahwa sudah pukul 10malam. Aku sudah cukup lelah karena seharian mengajar. Aku berjalan menuju kamar sambil mengechek pemberitahuan di ponsel. Bukan pesan dari ayah. Bukan pesan yang kutunggu. Belakangan, aku sangat merindukannya. Merindukan hal hal kecil dan liburan yang pernah kita lakukan bersama. Kadang mengutuk diri sendiri atau bahkan keadaan. Belum ada setahun semua kebahagiaan itu terjadi padaku. Kini aku harus menguburnya dalam dalam, mengingat ayah tak ada lagi disini. 

Ada, tapi tak ada.
Ada, tapi tak bisa bertemu.
Ada, tapi tak juga menyapa.
Ada, tapi tak ada.