Jumat, 11 Desember 2015

[poem] Kesalahan

Sejak kapan aku merasa seperti ini?
Jangan salah...
Mungkin ini hanya ilusi
Atau sebuah rasa siksa karena terlalu lama menyendiri
Jangan terlalu percaya
Mungkin saja, "dia" hanya mencoba
Atau sekedar beri tanda tanya
Tidak benar benar menyapa
Apalagi bersama
Jangan terlalu larut
Mungkin ini mimpi didalam maut
Perasannya hanya sampai dimulut
Dan tinggalkan rasa takut
Siapa yang salah?
Jelas bukan salah "dia"
Karena "dia" hanya berikan sebuah harapan
Bukan kepastian
Akulah yang sepenuhnya salah
Terlalu percaya
Terlalu mencoba
Terlalu yakin
Dan merasa tersakiti...

Sabtu, 14 November 2015

[Sequel] Invisible Reality part.1

Dengan nafas memburu. Aku tetap memperhatikan langkah kakiku. Mempercepat geraknya. Kedepan, fokus. Ah, yang benar saja jika aku harus terlambat dihari pertama ospek.
...
"Maaf kak, gedung E sebelah mana ya?" tanyaku pada seseorang yang tampak seperti senior karena dia tidak menggunakan baju batik seperti maba yang lain.

Dia tersenyum, "disini gedung E". Singkat. Jelas. Padat. Menawan. Mempesona.

Segera kukendalikan emosi untuk berteriak, "kalo ruang 32E sebelah mana?"

"Dilantai 2. Kamu naik tangga, belok kiri". Lesung di pipi nya tak hilang. Masih saja tersenyum. Dan lagi lagi aku masih saja harus menahan gejolak dalam hati.

"Makasih kak". Aku sedikit berlari setelah memutar badan dan mencari tangga terdekat. Aku rasa aku tidak sanggup jika berlama lama berinteraksi dengan orang semanis itu. Yap, orang pertama yang membuatku jatuh cinta di hari pertama ospek. Mudah sekali hati ini terjatuh, lemah.

Didalam ruang kelas itu sudah cukup ramai tapi beruntungnya acara belum dimulai. Aku berjalan masuk dengan sedikit tergesa dan mengandalkan senyum kecil diwajah agar tidak terlihat gugup. Keringat dingin sudah mulai bercucuran, tegang.

"Adek yang baru aja dateng, sini dulu dong".

Zzzzzzzz.

Yang benar saja. Pantas keringat dinginku keluar.

"Iya kak?" Aku ragu untuk melangkah. Tapi mengingat semua mata langsung tertuju padaku, kuberanikan diri untuk tetap maju dan menghadap seorang senior perempuan, dengan kacamata kotak cukup tebal, rambut dikucir dan alisnya yang badai, tinggi, putih dengan wajah oriental.

Dia melirik jam tangannya sendiri. "Ini jam berapa?"

Cih, buat apa ngelihat jam kalau ujungnya juga nanya.

"Jam 7 lewat 10 menit, kak" jawabku dengan nada rendah.

Dia berdecak. "Temen temen kamu udah ada disini dari kamu masih mandi. Kamu nggak kasihan sama mereka?"

Sok tahu. Aku bahkan tidak mandi pagi ini.

"Maaf kak, saya terlambat"

Dia menyeringai. "Yang bilang kamu tepat waktu siapa?"

Brengsek. Senioritas. Aku benci ini.

"Maaf kak" lagi lagi aku mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak benar benar ingin aku katakan.

Dia mengambil selembar kertas hvs dan sebuah pulpen. Memberikannya padaku. "buat surat pernyataan kamu terlambat hari ini dan cari tandatangan ketua panitia ospek"

Aku menghela nafas panjang. Baiklah, ini memang salahku.

"Ketua panitia ospek namanya siapa kak?"

Lagi lagi dia menyeringai. "Punya mulutkan? Punya kaki kan? Tanya! Cari!"

Suasana dikelas itu menjadi sangat hening.

By the way, dia menyuruhku bertanya.

"Ini saya juga lagi tanya sama kakak kan?". Jawabku dengan nada sok polos.

Terdengar tawa kecil dan tawa yang ditahan dari gerombolan dibelakang. Dasar bodoh, kakak itu memang bodoh.

"Maksudnya nggak harus nanya sama gue kan, tanya aja sama yang lain. Usaha!"

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk mengutuk setiap apapun yang dilakukan oleh kak Dhea. Ya, namanya Dhea. Jelas terbaca pada nametag kecil di dadanya yang busung itu.

Aku berjalan keluar dengan sedikit malas dari ruangan itu. Moodku dipagi ini sudah sangat hancur. Mulai dari alarm yang ternyata mati dan aku tidak ingat kalau sekarang aku tinggal sendiri. Tidak ada mama yang bisa membangunkanku di pagi hari. Dilema anak rantau. Bahkan aku melupakan sarapan pagiku. Lapar, nampaknya cacing diperutku sudah mulai memberontak. Sabar dulu ya sayang, kita cari kakak ketua panitia dulu baru cari kantin. Melelahkan.

Entah mimpi apa aku semalam, aku turun kelantai satu dan menemukan kakak senior yang tadi memberi tahuku ruangan lagi. Dia masih disana bersama beberapa lembar kertas dan menceklisnya. Kudekati dia. Menghelas nafas panjang, dan kuberanikan diri.

"Kak, maaf mau tanya lagi". Nampaknya aku cukup mengejutkan dia.

Dia tersenyum. Lagi. "Loh kok kamu nggak masuk kelas? Mau tanya apa?"

Dengan terbata aku menjawab. "Emm nganu kak, maaf sebelumnya hehe mau tanya nama ketua panitia ospek siapa ya? Emm terus kalo mau ketemu dia dimana? Soalnya emm saya dapat hukuman hehe dari kakak di ruang 32E hehe".

Sialan, aku nampak seperti idiot.

Kakak itu seperti menahan tawa. "Kakak siapa yang ngasih kamu hukuman?"

"Kak Dhea, kalo nggak salah"

Dia masih menahan tawa. "Disuruh cari tanda tangan?"

"Iya kak. Sama buat surat pernyataan kalo terlambat gitu hehe"

Dia tersenyum lebih lebar. Dan lebih manis tentunya. "Kalo mau cari ketua panitia, dia biasnya ada disekitar sini sih. Nggak kemana mana"

Aku mulai lega berfikir kalau tidak akan terlalu sulit menemuinya. "Namanya siapa kak?"

"Ethan" jawabnya singkat.

Aku melihat nametag nya. Ethan. Aku sempat berfikir--jangan jangan dia mengira aku sedang menanyakan namanya karena dia menyebutkan namanya sendiri.
"Nama ketua panitia ospek maksud saya, kak"

Dia justru tertawa. "Namanya Ethan"

Aku terdiam sejenak. Malu. Sangat malu.

"Muka aku nggak keliatan kaya ketua ya? Yaudah deh" lagi lagi dia tertawa. Menertawakanku yang benar benar tampak menyedihkan. Memalukan.

"Eh bukan begitu maksud saya,kak. Aduh jadi bingung. Jadi kakak ini ketua nya? Kak Ethan?". Tengsin abis. Udah nggak tahu harus ditaruh dimana lagi muka ini.

"Iya dek" jawabnya singkat dengan tawa yang mulai meredam.

Aku masih bingung dan terdiam untuk beberapa saat.

"Kakak lagi sibuk? Mau nungguin aku nulis surat pernyataan & tanda tangan nggak? Aku minta tolong, kak. Nanti aku nggak bisa masuk kelas soalnya". Fix aku menjatuhkan harga diri. Nampak sangat sangat menyedihkan didepannya. Tidak ada harapan lagi untuk bisa -yaa, setidaknya menjadi sedikit anggun. Sedikit-.

Dia lagi lagi tertawa. Mungkin karena melihat tingkahku. Atau memang karena wajahku yang sangat melas dan patut dikasihani. "Iya dek, sini duduk disini".

Dia menarik kursi disebelahnya. Didekatkan dengan kursi dan mejanya. Menyuruhku duduk disitu. Duduk didekatnya. Didekatnya. Didekat seorang kak Ethan. Astaga!

"Iya kak, makasih. Hehe". Aku tersipu. Sudah dipastikan wajahku kini seperti kepiting rebus.

Aku menulis surat pernyataan terpendek dan tercepat yang pernah aku buat. Segera kuberikan pada kak Ethan dan dia pun segera menandatanginya. Tanpa dibaca ulang apalagi revisi. Sepertinya dia terlalu sibuk untuk itu.

"Terima kasih kak". Ucapku singkat kemudian segera pergi. Aku benar benar tidak tahan lagi.

Aku melihatnya tersenyum sebelum dia mengucapkan "iya dek, sama sama".

Aku segera berlari menuju ruangan 32E. Mengetuk pintunya pelan, kemudian memutar kenopnya dan mendorong pintu perlahan. Lagi lagi, semua mata tertuju padaku. Sangat malu. Benar benar memalukan. Kak Dhea sepertinya menunggu kedatanganku, mengingat wajahnya terlihat sangat antusias saat aku mulai berjalan mendekatinya.

Kak Dhea tersenyum. Sial, dia sangat cantik bahkan sampai membuatku iri. Kenapa dia jarus bersikap sedingin itu disaat dia memiliki senyum dan wajah yang sebenarnya ramah.

"udah dapet? Cepet banget". Kalimat pertamanya pun terucap. Awalnya kukira dia akan mengucapkan sesuatu yang lebih jahat, ternyata yaa-walaupun tidak menyenangkan untuk didengar tapi itu jauh dari ekspetasiku yang kukira dia kan memarahiku habis habisan. Setidaknya belum.

"Iya kak, nggak sengaja ketemu dibawah tadi", ucapku ragu.

Dia mengambil kertasku dan membacanya. Degup jantungku semakin tidak karuan. Tidak yakin dengan apa yang akan dia katakan, tapi aku sudah menghela nafas panjang. Barang kali setelah ini aku akan dipermalukan.

"Yasudah duduk, jangan diulangi lagi ya". Ucapnya ringan. Aku terkejut bukan main. Sedikit ragu untuk kembali mencari kursi yang kosong, aku meliriknya sedikit tidak cukup berani menatanya. Aku melihat wajahnya dengan ekspresi datar. Seperti tidak terjadi sesuatu. Aku sedikit lega, sedikit.

Aku mencari kursi kosong terdekat. Duduk disama dengan ragu, melempar senyum pada orang dikanan kiri ku. Mereka nampak cukup senang aku duduk disitu. Bukan masalah. Bahkan mereka melempar senyum balik kepadaku.

Semuanya berjalan baik baik saja hari itu. Hari hari ospek selanjutnya juga demikian. Berjalan dengan cukup lancar.

....

2 bulan kemudian.

....

Sepertinya hari pertama ospek itu adalah hari pertama dan terakhirku bertemu dengan kak Ethan. Karena aku tidak pernah lagi bertemu dengannya dua bulan ini. Aku bahkan sering sekedar berkeliling kampus untuk -barang kali- secara tidak sengaja bertemu dengannya.  Aku juga mencoba mengikuti beberapa organisasi dan perkumpulan, berharap bisa bertemu dengan kak Ethan disana. Tapi hasilnya nihil, aku tidak pernah menemuinya. Akan tetapi di salah satu organisasi, aku justru bertemu dengan seseoarang yang kalau dilihat lihat sangat mirip dengan kak Ethan. Kulitnya yang kecoklatan, rambutnya yang cukup panjang, kornea mata yang coklat muda, badannya yng cukup tinggi, lesung pipi nya yang dalam dan menyejukkan. Astaga, kenapa semudah ini aku jatuh cinta.

Namanya Arsen. Aku bertemu dengan kak Arsen disalah satu organisasi di kampus. Dia ketua disana. Sangat keren sekaligus menakutkan. Matanya yang tajam saat berbicara dengan orang lain, bahasanya yang halus akan tetapi tegas. Aku fikir semua orang di organisasi itu sangat segan dengannya. Aku sering melihatnya sendiri dengan handphone ditangannya. Dia tidak apatis atau kurang bisa bersosialisasi. Dia memiliki banyak teman, banyak yang mengenalnya. Tapi dia cenderung diam & tidak terlalu sering bermain dengan yang lain. Aku tidak tahu kenapa. Sangat misterius.

Singkat cerita, aku berhasil lolos di seleksi untuk dapat masuk di organisasi yang diketuai oleh kak Arsen. Suatu malam, saat itu sedang ada perkumpulan atau makrab, kami duduk didepan api unggun memutar, mendengarkan salah seorang anggota lain memainkan gitarnya. Disana juga ada kak Dhea, dia bernyanyi dengan sangat merdu diiringi gitar itu. Saat itu aku ikut larut dalam suasana lagu. Menggumamkan liriknya bersama yang lain. Saat itu pula, untuk pertama kalinya aku melihat kak Ethan lagi. Dia datang terlambat nampaknya, dan duduk tepat disebelah kak Arsen. Aku benar benar terkejut. Tapi entah kenapa yang lain merasa biasa saja dengan kedatangannya. Apa hanya aku yang tidak melihatnya bersama rombongan daritadi? Apa sebenernya kak Ethan sudah bersama kita, tapi aku tidak sadar?
Baiklah, aku tidak peduli. Selama aku bisa melihat kak Ethan lagi setelah sekian lama. Rindu. Walaupun aku bukan siapa siapanya dan nggak berhak untuk itu, lalu salah siapa jika aku tetap merindu? Aku mencuri pandang menatap wajahnya dari jarak yang cukup jauh. Temanku memergoki aku beberapa kali dan sedikit tertawa. Kak Ethan hanya diam, wajahnya sangat dingin, kaku dan misterius. Tapi sangat menawan juga disaat yang bersamaan. Aku membandingkannya dengan wajah kak Arsen. Hampir tidak ada beda kecuali rambutnya. Aku tersenyum sendiri sampai temanku menyadarkanku.

"Sudah sudah, baru aja makrab udah jatuh cinta gitu. Gimana besok kalo ketemu terus pas rapat"

Aku benar benar malu dan merasa gagal dalam misi mengintaiku sendiri.

"Eh nggak gitu, orang cuma ngelamun doang kok"

Kemudian aku melihat kak Ethan berdiri dan masuk kedalam tenda. Sedikit kecewa karena secepat itu dia pergi tidur. Pikirku pada awalnya.

***
[tbc yawh!]
***

Hellaw fellas! Terima kasih sudah membaca sampai akhir cerita gaje [invisible reality, part.1] inii yeayyy. Semoga kalian suka yahh btw udah cukup lama nggak nulis cerita panjang *setelah kehilangan data di laptop lama, semua file termaksud cerita siap post aku corrupt* *curhat* *sedih* *truereality* *anjay* *eeq* aku jadi harus ngulangin semua dari awal😂
Tapi yang jelas, hope you like it! Tunggu part part selanjutnya yaw!
Leave your thumb up, jangan lupa! Bhayy!💙

Jumat, 13 November 2015

[poem] Luka

Kamu kadang tidak punya cukup pilihan
Untuk sekedar menentukan
Mana yang baik dan buruk
Bahkan untuk dirimu sendiri
Kamu kadang tidak punya cukup pilihan
Untuk sekedar meminta
Mana yang ingin dan tidak diinginkan
Kamu kadang tidak punya cukup pilihan
Untuk sekedar menghindari
Dan tetap harus kamu hadapi
Sebuah rasa..
Rasa sakit
Pedih
Perih
Dan tidak ada seorangpun
Yang bisa disalahkan atas itu semua
Bukan salah kamu
Bukan salah dia
Bukan salah mereka
Ini masalah hati
Problematika dalam diri
Yang sudah terpatri
Sampai mati
Kamu bisa saja meniup lilin itu
Dan meredupkan sekitarnya
Berharap menutup kemungkinan terlihatnya luka
Tapi apa yang sebenarnya dirasa?
Sakit yang mendua
Kemudian beranak pinak
Dan memberikan tunas tunas luka baru
Yang bisa saja tumbuh
Diantara sela hati yang kau sebut cinta
Enyahlah
Percuma kamu dengar para pesyair itu
Mengdeskripsikan cinta dengan begitu indahnya
Karena faktanya salah
Tidak sedemikian indah
Yang ada hanyalah perjuangan penuh peluh
Untuk menutup luka lama..

Sabtu, 31 Oktober 2015

[poem] Karma



Satu detik. Kadang buatku sudah menjemu.

Dua detik. Bahkan berhasil buatku menunggu.

Tiga detik. Rasa rasanya ini rindu.

Empat detik. Tak benar yakin apa yang dituju.

Lima detik. Siapa aku? Siapa kamu?

Apakah yang kulakukan benar? Lalu?

Benar salahku buatmu menjemu

Benar salahku buatmu menunggu

Benar salahku acuhkan kamu

Tapi apa salahku ketika semua itu,

Kembali padaku?

Minggu, 01 Februari 2015

[poem] Tulisan Ini


mereka bilang kita berbeda
aku pun mengetahuinya
tapi saat aku menanyakanya
kau justru balik bertanya,
"bagian mana dari kita yang berbeda?"

tidakkah kau tahu betapa sakit hati ini
tatkala kau pergi melangkahkan kakimu menuju kursi itu
disaat aku hanya berdiri menanti
kau sedang berbincang dengan Tuhanmu

aku sejujurnya hampir menyerah dengan kita
tapi senyum itu
senyum yang menghantarkan kesejukan
senyum yang menghantarkan kedamaian
seakan kau berkata, "tidak ada yang salah dengan kita"

tangan tangan itu yang meyakinkanku
mengusap lembut keningku
menyeka air mataku
menggenggam tanganku
seakan berkata, "jangan pergi, ada aku disini”

kenapa kau sebegitu keras kepala?
disaat aku ingin menyerah dengan segalanya
ketika semua ini sudah terlajur
menangispun tak kan membuat kita berpisah
memintapun seakan tak berguna
kenapa kau sebegitu keras kepala?

melalui tulisan ini
tak bisakah kita tidak memulai?
melalui tulisan ini
tak bisakah kita berakhir?

aku tahu kita salah. maka akhirilah.





***

Jumat, 30 Januari 2015

[poem] Tiga Hati




Harapan apa yang telah kubuat?

Telanjur merenda sejuta mimpi

Aku memang bukan orang yang kuat

Tapi aku pantas untuk dimiliki

Tak bisakah aku memilih?

Bersamamu terasa cukup

Tak bisakah aku memilih?

Mencintaimu sudah lebih dari cukup

Ya mungkin memang benar

Kita memang bertemu. Tapi tidak untuk bersatu.

Kita memang saling menyapa. Tapi tidak untuk bersama.

Kita memang bilang cinta. Tapi hanya sekedar dibibir saja.


Bukan karena kita munafik.

Atau coba hati ditampik.

Apalagi tidak saling tertarik

Ini hanya ilusi. bukan kisah yang otentik.



Bukan jarak yang memisahkan

Bukan juga waktu yang menyulitkan

Tidak ada yang salah dengan ini

Mungkin hanya ego yang harus diakhiri

Coba sampaikan doa lewat para merpati

Barangkali, kita memang hanya sedang diuji



Jika memang tidak bisa bersama

Untuk apa kita harus bertahan

Buang waktu dan habiskan sisa harapan

Bahkan hati ini sudah cukup lelah memendam

Kita tidak pernah saling menyakiti

Hanya saja terukir luka sendiri

Luka yang mungkin tidak dapat terobati

Dan memohon utuk segera diakhiri



Jika memang harus berakhir bahagia

Maka berakhirlah

Tapi tidak akan pernah ada akhir yang bahagia

Ini bukan sekedar drama atau telenovela

Ini realita. Ini nyata.

Kita mungkin saling percaya.

Tapi tidak untuk tuhanku, tuhanmu.



Ini hanyalah kisah cinta tak bertuan

Biarkan aku menari diatas matahari

Dan jangan biarkan aku kembali

Biarkan aku bernyanyi diatas bulan

Dan jangan biarkan aku pulang



Perbedaan agama memang jadi masalah besar.

Karena cinta beda agama bisa jadi cinta segitiga.

Antara aku, kamu dan Tuhan. 



***

haii, aku kembali dengan puisi yang gaje hehe. ini bukan curahan hati kok. cuma ingin mengapresiasikan sesuatu yang seperti cukup lama memendam di hati. bagaimana jika aku mendapatkan posisi seperti yang ada di puisi tersebut? akhir yang menyakitkan? entahlah. aku nggak akan pernah tahu sampai ini benar benar berakhir. hehehe. terima kasih sudah membaca. :)